Peran Masyarakat Dalam Pembiayaan Pendidikan

PERAN MASYARAKAT
DALAM PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Oleh : Aep Sy Firdaus

A. LAPORAN BANK DUNIA TENTANG PENDIDIKAN
Paling tidak ada lima aspek yang diproyeksikan oleh Bank Dunia untuk mengatasi kelemahan institusional dunia pendidikan, yaitu : (1) pemberdayaan lokal, yaitu memberikan tanggung jawab kepada Kepala Daerah Tingkat II untuk menyukseskan program wajib belajar; (2) menetapkan kembali tanggung jawab atas perencanaan jangka panjang, Dati II sebagai titik berat pengelolaan merupakan rencana jangka panjang desentralisasi; (3) pembangunan kemampuan kelembagaan; (4) memberikan otonomi yang lebih besar dengan manajemen sekolah yang bertanggungjawab; dan (5) sistem pendanaan yang menjamin pemerataan dan efisiensi.(Fasli Jalal, 2001: 159)

B. PERAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Seiring perkembangan kehidupan manusia yang begitu dinamis, maka kini telah mulai dipikirkan kemungkinan cara dan strategi penanggulangan kualitas pendidikan. Dan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan dalam penanggulangan kualitas pendidikan tersebut adalah masyarakat
Untuk mengetahui seberapa besar peran masyarakat terhadap pendidikan, sebaiknya jangan hanya memandang dari segi pendanaan saja, walaupun peran pendanaan seringkali dijadikan sebagai tolok ukur untuk melihat sampai sejauh mana peran itu dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi bias, sebab peran masyarakat secara umum terhadap pendidikan sangatlah besar, baik dari pendanaan ataupin non pendanaan seperti perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pengawasan dan pemanfaatan produk pendidikan (lulusan, hasil penelitian dan lain-lain).
Secara umum dapat dikatakan bahwa di luar biaya yang bersumber dari pemerintah, proses pendidikan berjalan berkat peran serta keluarga. Kontribusi keluarga (diperkirakan) sangat besar, bahkan dibandingkan dengan dari sumber dana pemerintah. Hanya masalahnya hal ini tidak dihitung. Studi-studi yang ada selama ini cenderung untuk menyimpulkan bahwa dana sekolah sebagian besar bersumber dari pemerintah. Ini disebabkan karena pendekatan yang digunakan lebih didasarkan atas dana yang dialokasikan oleh pemerintah, dan kurang menghitung dana dari keluarga. (Biro Keuangan Sekertariat Jendral Depdiknas, 2001: 6).

C. PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PENDIDIKAN
Tidak ada data yang pasti mengenai angka partisipasi masyarakat dalam membiayan pendidikan. Namun tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa partisipasi masyarakat ini sangat besar. Logikanya adalah, tidaklah mungkin suatu lembaga pendidikan dapat menjalankan aktivitasnya, jika tidak ada dukungan masyarakat seperti memasukkan anaknya ke lembaga tersebut, atau memberi rasa aman dan nyaman terhadap lembaga pendidikan tersebut dalam setiap proses yang dilakukan.
Motivasi masyarakat untuk mendukung pendidikan, dan memungkinkan pengerahan sumberdaya masyarakat tergantung kepada dua faktor, yaitu :
1. kedekatan hubungan antara lembaga pendidikan dan masyarakat;
2. mutu pribadi fungsionalis pendidikan dan pimpinan lembaga pendidikan setempat.
Hubungan yang cocok digambarkan oleh adanya berbagai hubungan, formal dan informal, antara fungsionalis pendidikan dan wakil kelompok orang tua dan masyarakat. Jenis hubungan ini diperlukan untuk mempermudah pengerahan sumberdaya dalam rangka mendukung pembangunan pendidikan setempat.
Banyak contoh bentuk partisipasi masyarakat dalam membiayai pendidikan baik perorangan atau kelompok, antara lain :
1. Perorangan. Banyak pembangunan sarana pendidikan, yang muncul sebagai inisiatif anggota masyarakat yang mempunyai semangat. Hal ini dilakukan dengan cara menyumbangkan uang, tanah, atau bangunan yang terkumpul dari para dermawan. Hal ini kadang-kadang membuka jalan untuk dasar yang lebih luas dalam mengumpulkan sumbangan masyarakat lainnya untuk memberikan sumbangan dalam bentuk uang tunai, barang atau tenaga untuk persiapan sarana pendidikan. Ada tiga kategori penyumbang perorangan ini, yaitu :
a. orang kaya dermawan, yang dapat memberikan sumbangan besar baik tunai, tanah, bangunan dan peralatan, sehingga fasilitas pendidikan (sekolah) dapat diberi nama penyumbang;
b. masyarakat golongan kelas menengah, yang menyumbang uang atau bahan bangunan dengan jumlah sedang;
c. masyarakat bawah, yang secara sukarela menyumbangkan tenaganya dan bekerja keras untuk mewujudkan sarana pendidikan
2. Kelompok Sukarela yang Diorganisir. Kelompok ini dibentuk oleh masyarakat peduli pendidikan, yang berusaha mencari sumbangan/ dana untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Yang paling efektif dalam hal ini adalah persatuan orang tua murid dan guru (POMG), badan pendidikan setempat, atau lembaga swadaya masyarakat;
3. Persatuan Alumni. Keberadaan persatuan alumni juga telah memberikan pengaruh langsung pada pengerahan sumberdaya. Mereka sering berguna dalam memperoleh dukungan moral dan dana untuk membangan sarana pendidikan;
4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Beberapa lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diorganisir secara struktural dan fungsional, mereka memiliki akses dengan jaringan internasional seperti UNICEF dan UNESCO yang secara rutin memberikan sumbangan/ berpartisipasi dalam menuntaskan proyek pendidikan;
5. Perusahaan Bisnis. Banyak praktek bisnis yang secara nyata dapat berpartisipasi meningkatkan kualitas pendidikan. Contoh yang paling mudah adalah perusahaan penerbitan buku dan alat-alat pelajaran;
6. Badan Keagamaan. Pemimpin agama sering memainkan peranan yang efektif. Di Indonesia, peranan badan keagamaan dalam pendidikan sangat kuat. Organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah telah memberikan sumbangan sangat besar melalui lembaga pendidikan mereka. Bahkan mereka dapat secara efektif menjaring sumbangan keagamaan seperti melalui zakat, wakaf, infaq, hibah, wasiat dan sebaginya.



D. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis kemukakan, secara umum memang sulit untuk mengukur dengan pasti angka partisipasi masyarakat dalam membiayai pendidikan. Namun kita menyadari bahwa peranan dan tanggung jawab tersebut ada, dan terkadang tidak terdeteksi oleh data-data statistik. Walaupun memang masih banyak juga masyarakat yang tidak peduli terhadap pendidikan, apalagi tangung jawab dalam pengembangannya..

Peranan dan tangung jawab masyarakat dalam membiayai pendidikan, tidak selamanya harus diukur dengan berapa besar uang/ dana yang mereka sumbangkan. Sebab dalam kenyataannya banyak hal yang mereka lakukan baik secara individu ataupun kelompok, yang telah berbuat banyak untuk pendidikan dengan cara-cara sesuai kemampuannya, baik berupa sumbangan uang tunai, sumbangan tanah, memberikan tenaga kerja secara sukarela bahkan dukungan do’a sekalipun. Itu semua merupakan bukti-bukti nyata peran mereka dan perasaan tanggung jawab terhadap pendidikan.

E. IMPLIKASI-IMPLIKASI

Dengan menitik beratkan kepada pentingnya peranan dan tanggung jawab masyarakat dalam mebiayai pendidikan, maka ada beberapa implikasi yang seyogyanya dapat dijadikan sebagai acuan, antara lain :
1. Perlu adanya pengerahan sumberdaya masyarakat di tingkat mikro. Pengerahan sumberdaya ini merupakan tugas paling berat dari pimpinan lembaga pendidikan. Dalam hal ini perlu adanya penyadaran sosial, bahwa pendidikan dipandang sebagai hak asasi manusia dan sebagai sarana untuk memobilisasi sosial dan perbaikan mutu kehidupan. Dengan pengerahan sumberdaya ini diharapkan akan meunculkan sumberdaya lokal sebagai pelengkap anggaran pemerintah, atau bahkan akan menjadi sumberdaya utama baik segi keuangan, tenaga kerja bahkan teknologi dalam pengembangan pendidikan;
2. Revitalisasi Semangat Sumbangan Pendidikan. Terdapat banyak lembaga pendidikan yang secara historis adalah hasil dari sumberdaya masyarakat tradisional. Pada saat ini dukungan masyarakat sering hanya terbatas pada iuran sekolah karena anaknya sekolah di lembaga tersebut, yang sangat lemah untuk mendukung sarana pendidikan. Oleh karena itu, perlu menghidupkan kembali semangat tradisional gotong royong, walaupun anaknya tidak sekolah di lembaga pendidikan tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui kampanye melalui badan-badan keagamaan;
3. Mendorong Sponsor Perorangan atau Kelompok. Dengan strategi ini individu atau kelompok masyarakat diminta untuk memiliki kepedulian membangun sarana pendidikan. Jika perlu buatlah nama-nama mereka untuk diabadikan sebagai identitas sarana pendidikan tersebut;
4. Pembentukan Dana Abadi Pendidikan yang bersumber dari masyarakat. Pembentukan dana abadi adalah salah satu bentuk penggalangan dana untuk operasional yang berkelanjutan suatu lembaga pendidikan. Sumbangan dana abadi ini tidak dibelanjakan langsung, tetapi ditabung sebagai deposito dalam usaha yang aman dan menguntungkan. Hanya pendapatan dari deposito itulah yang digunakan untuk melengkapi biaya operasional; dan
5. Pembentukan Badan Pengawas Pendidikan. Badan ini dimaksudkan untuk mengontrol dan mengawasi, langkah-langkah dalam mengelola pendidikan, agar tidak menyimpang dari visi dan misi utamanya.




DAFTAR PUSTAKA
Abas, Hafid. (1995). “Sekolah Sebagai Pusat Kebudayaan”, dalam ISPI (1995), Pendidikan dan Prospeknya Terhadap Pembangunan Bangsa Dalam PJP II. Jakarta : ISPI

Arifin, H.M. (1987).Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara

Bird, Richard M.(2003). Tax Policy and Economic Development. Makalah Kelompok. PPS UPI Program Administrasi Pendidikan

Biro Keuangan Sekretariat Jendral Depdiknas. (2001). Laporan Hasil Penelitian Penyusunan Biaya Satuan Pendidikan SD SLTP SMU dan SMK Negeri. Jakarta : Biro Keuangan Sekretarian Jendral Depdiknas

Clark, David dkk (2003). Financing of Education in Indonesia.

Cohn, Elchanan. (1979). The Economic of Education. Cambridge Massachusetts :Ballinger Publishing Company

Fakry Gaffar, Mohammad. (2000). Pembiayaan Pendidikan Permasalahan dan Kebijaksanaan Dalam Perspektif Reformasi Pendidikan Nasional. Makalah pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia IV, Jakarta

Fattah, Nanang. (2000). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya

Hough, JR.(1981). A Study of School Cost. New Jersey: Nelson Publishing

ISPI. (1995). Peranan Pendidikan. Jakarta : Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesi

Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi.(2001).Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Johns, Thomas H. (1985). Introduction to School Finance Technique and Social Policy. New York: Macmillan Publishing Company

Syamsuddin Makmun, Abin (1999). Pemberdayaan Sistem Perencanaan dan Manajemen Sekolah Menuju Ke Arah Peningkatan Kualitas Kinerja Pendidikan yang Diharapkan. Jakarta: Panitia Penyelenggara kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VII

Undang-Undang Repulik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

alt="Click for Bandung, Indonesia Forecast" height=50 width=150>

invisible counters
Match.com Dating

Pengintegrasian Materi Keagamaan Dalam Pembelajaran Matematika

PENGINTEGRASIAN MATERI KEAGAMAAN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI MADRASAH
Oleh : Aep Sy Firdaus

A. Pengertian Materi Keagamaan
Menurut kurikulum dan silabus Departemen Agama RI, yang dimaksud dengan materi keagamaan adalah keseluruhan materi pelajaran Agama Islam di Madrasah, yang meliputi :
· Materi al-Qur’an Hadits;
· Materi Aqidah Akhlaq;
· Materi Fiqih;
· Materi Sejarah Kebudayaan Islam; dan
· Materi Bahasa Arab
Namun lebih luas lagi, yang dimaksud dengan materi keagamaan menurut Imam Al-Ghazali sebagaimana ditulis Hamdani (1998 :235), yaitu meliputi :
· Aspek pendidikan keimanan yang menekankan bahwa prinsip keimanan harus didasarkan kepada syahadatain, yaitu syahadat Tauhid dan syahadat Rasul;
· Aspek pendidikan akhlak yang berkaitan dengan perilaku manusia dalam upaya pembentukan budi pekerti manusia;
· Aspek pendidikan akliah hakikat akal adalah puncak gazirah (semangat) untuk mengetahui akibat dari semua persoalan dan mengendalikan hawa nafsu;
· Aspek pendidikan sosial dengan konsep bahwa manusia harus hidup bersama orang lain sehingga memerlukan nilai dan norma masyarakat untuk menyesuaikan diri secara baik; dan
· Aspek pendidikan jasmaniah yang merupakan salah satu dasar pokok untuk mendapatkan kemajuan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia

B. Tujuan dan Fungsi Materi Keagamaan
Tujuan utama materi keagamaan dalam proses belajar mengajar (PBM) matematika adalah mewujudkan konsep keterpaduan. Keterpaduan yang menghilangkan dikotomi pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Sehingga tidak ada lagi pengkotak-kotakkan ilmu ke dalam ilmu “umum” dan ilmu “agama”.
Dalam pandangan Dr Mochtar Naim, memberikan deskripsi atas ilmu, yaitu alat yang diberikan kepada manusia untuk mengetahui dan mengenal rahasia-rahasia alam ciptaan Tuhan, yang dengan itu mereka bisa memeliharanya dengan sebaik-baiknya sebagai khalifat Alloh di muka bumi ini (Marwan Saridjo, 1999:32).
Dengan pandangan di atas, menurut Dr Mochtar Naim semua macam ilmu apapun, jika saja diletakkan dalam wadah misi itu akan menjadi “Islami”, dan di luar itu “tidak Islami”. Ide untuk mengintegrasikan pengetahuan “umum” dan pengetahuan “agama” memang telah lama menjadi cita-cita sebagian ulama dan intelektual Indonesia. Dr Imaduddin Abdurrahim dalam beberapa forum seminar berulangkali menyampaikan ide Islami Ilmu pengetahuan dan menolak atau mengecam keras pemisahan ilmu Islam dan ilmu umum seperti yang terdapat dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi.
Tokoh Islam lain yang menolak pemisahan pengetahuan “umum” dan “agama” yaitu Sidi Gazalba dan Prof A. Hasjmi. Dalam makalahnya “Konsepsi Ideal Darussalam” Prof A. Hasjmi menyatakan : memperdalam Ilmu Agama Islam berarti mempelajari secara mendalam segala bidang ilmu, karena semua ilmu Islam, baik yang dinamakan Al-Ulumul Naqliyah maupun Ulumul Aqliyah.
Lebih khsusus lagi, tujuan materi keagamaan dalam proses belajar mengajar (PBM) matematika di madrasah adalah :
1. memberikan pemahaman kepada siswa bahwa tidak ada dikotomi antara pelajaran matematika dan pelajaran agama;
2. memberikan pemahaman kepada siswa bahwa penguasaan pelajaran matematika bermanfaat juga untuk menjalankan syariat agama secara benar

Sedangkan fungsi utama dari materi keagamaan dalam proses belajar mengajar (PBM) matematika adalah sebagai strategi pengelolaan pembelajaran matematika, yang pada akhirnya akan mengubah paradigma pembelajaran dari teaching menjadi learning. Sehingga proses ini berupaya :
1. menjadikan materi pelajaran sebagai bahan pembicaraan yang menarik siswa;
2. melakukan asosiasi materi keagamaan dengan pelajaran matematika;
3. menjembatani materi pelajaran yang bersifat abstrak (teoritis) ke yang bersifat khusus (nyata/ realistis); dan
4. menciptakan suasana kelas yang menarik, rileks dan tidak tegang.

C. Faktor-faktor yang Mendukung Pembelajaran Matematika
Pada dasarnya proses pembelajaran matematika tidak berbeda dengan proses pembelajaran lainnya. Pembelajaran di sekolah dapat dipandang sebagai suatu sistem yang terbuka. Belajar matematika akan berhasil, jika proses belajarnya baik, yaitu melibatkan intelektual siswa secara optimal dimana aktivitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang mendukung maupun yang menghambat. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor siswa, faktor guru, prasarana dan sarana.
Kesiapan siswa dalam belajar menyangkut perhatian, kemampuan, kesiapan, sikap, minat dan intelegensi merupakan faktor-faktor penting yang harus dapat sesegera mungkin dideteksi oleh guru. Guru sering dipandang/ menganggap diri sebagai pelaku utama dalam setiap pembelajaran di kelas, sehingga tak seorangpun berhak turut campur dalam manajemen di kelas. Persoalannya adalah efektifkah pembelajarab matematika tersebut ?
Dewasa ini, guru bukan satu-satunya nara sumber bagi siswa. Kemajuan teknologi terutama arus informatika telah mendorong matematika sebagai alat bantu untuk berfikir nalar dan logis. Oleh sebab itu, guru sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pembelajaran matematika tersebut harus menguasai metodologi pembelajaran matematika terkini (modern), selain penguasaan materi/ substansi pokok dari matematika itu sendiri.
Ada beberapa hal yang perlu untuk dicermati dalam pengajaran matematika tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Bambang Wisono, 2000: 1-3), yaitu sebagai berikut :
1. Mendidik, termasuk mendidik mata pelajaran matematika merupakan hal yang sulit. Jauh lebih sulit ketimbang menawarkan polis asuransi. Harvey Mc Kay bahkan menyatakan “Guru berhasil adalah marketer yang paling hebat”, karena guru menawarkan sesuatu yang abstrak yaitu pengertian;
2. Untuk mampu mendidik (proses pencerahan, pemberdayaan dan menumbuhkan motivasi berpartisipasi) dibutuhkan kesungguhan, komitmen, kesabaran dan kepemimpinan;
3. Mendidik mata pelajaran matematika (juga mata ajar lainnya) membutuhkan kreativitas (bertolak belakang dengan matematika itu sendiri yang logic, dan tanpa perasaan). Dan hal ini yang cenderung dilupakan oleh guru matematika;
4. Kreativitas dibutuhkan terutama untuk mengaitkan mata ajar dengan “kondisi yang sesungguhnya”. Sebaiknya pendidik mencari satu dua contoh yang diambil dari keadaan yang sebenarnya yang ada di sekitar siswa;
5. Buatlah “manuver dan akrobat” atau “permainan” dalam mengajarkan matematika. Sehingga pengajaran matematika menjadi menyenangkan dan menjadikan matematika tidak kering, dingin, dan tanpa perasaan; dan
6. Ingatlah, bahwa guru sekarang dan masa datang adalah guru yang mampu memotivasi siswa agar mampu belajar mandiri. Bukannya guru sebagai gudang ilmu, sebab ilmu ada di mana-mana di rak buku, di internet dan sebagainya.

D. Konsepsi Pembelajaran Matematika
Matematika sebagai mata pelajaran menjadi sejauh dan seluas yang dapat dibuat oleh pengajarnya. Hal ini akan merupakan suatu diskusi yang menarik. Akan tetapi yang menentukan bagi proses pelajaran dan pendidikan adalah bagaimana hal tersebut dibicarakan, dan dalam kondisi belajar yang bagaimana. Hal tersebut lebih dari hanya masalah metodik. Disini terletak juga pengertian matematika secara mendasar dan juga filsafat pendidikan yang mendasarinya.
Hingga sejauh mana konsepsi-konsepsi pelajaran berdasarkan orientasi filsafatnya masing-masing dapat berbeda-beda, sebagaimana ditunjukkan oleh Demuth yang sering dijumpai di sekolah yaitu :
1. Konsepsi pertama; Matematika berorientasi formalistik. Pengertian modern seperti campuran, hubungan, fungsi, kelompok, vektor, diperkenalkan dan dimasukkan dengan definisi dan dihubungkan satu sama lain dalam sistem yang disusun secara deduktif;
2. Konsepsi kedua; Matematika berorientasi pada dunia sekelilingnya. Titik tolaknya adalah tema yang diambil dari jangkauan pengelaman pelajarnya. Pelajaran mempunyai tugas untuk mematematiskan keadaan sekeliling, artinya menyelidiki sekelilingnya mengenai kadar matematisnya;
3. Konsepsi ketiga; Heuristik, yaitu sistem yang pelajarnya dilatih untuk menemukan sesuatu secara mandiri. Menurut Polya, heuristik berupaya untuk memahami permulaan pemecahan masalahnya, terutama cara pemikiran yang dalam proses ini secara khas dapat digunakan. Konsep heuristik ingin mengarahkan pelajar dengan cara-cara penemuan, merangsang penelitian dan perekaan, dan dengan demikian meningkatkan minat terhadap matematika; dan
4. Konsepsi keempat; Matematika sebagai perkakas. Disini kesiapan menjadi menonjol ke depan, yang sering hanya digunakan sebagai kesiapan teknis. Matematika ini kemudian baru dipahami dan dinilai kemungkinan penerapannya misalnya dalam pelajaran fisika.

Sudah tentu konsepsi-konsepsi tersebut, dapat digabungkan (dikom-binasikan). Permasalahannya bukan pada pelaksanaan praktis “banyak sedikitnya” bentuk asli, melainkan mengenai posisi yang mendasarinya dan memerlukan pengujian didaktik bidang studi secara teliti.

Dengan demikian dapat dipertanyakan, berapa jauh formalisme pragmatis yang berkuasa dalam kegiatan ilmu matematika sekarang, seharusnya meresap ke dalam matematika di sekolah. Juga dapat dipertanyakan hubungan antara abstraksi matematika di satu pihak, dan di lain pihak pengalaman kita dari kenyataan alami dan kemasyarakatan.

C. Syarat-syarat Materi Keagamaan dalam Pembelajaran Matematika
Berkaitan dengan syarat-syarat materi yang akan dipadukan tersebut ada beberapa sifat penting yang memungkinkan matematika memegang peranan sangat penting dalam proses kegiatan keilmuan.
Sifat-sifat itu adalah sebagai berikut :
1. Matematika berhubungan dengan pernyataan yang berupa dalil dan konsekwensinya, dimana pengujian kebenaran secara matematis akan dapat diterima oleh tiap orang yang rasional;
2. Matematika tidak tergantung kepada perubahan ruang dan waktu;
3. Matematika bersifat eksak dalam semua yang dikerjakannya meskipun dia mempergunakan data yang tidak eksak (merupakan perkiraan);
4. Matematika adalah logika deduktif, yang mengubah pengalaman indera menjadi bentuk-bentuk yang diskriminatif kemudian bentuk ini diubah menjadi abstraksi, dan abstraksi kemudian berubah menjadi generalisasi. Generalisasi ini tidak tergantung kepada sifat-sifat fisik, sehingga objek-objek yang dimaksud tetap merupakan ujud pemikiran abstrak. Mengkaitkan generalisasi dan ujud-ujud abstrak ini dengan metode deduksi, berarti membangun sistem matematika (Howard F Fehr, 1987:211)
Dalam upaya mewujudkan keterpaduan materi keagamaan dengan pelajaran matematika ini ada 5 (lima) persyaratan utama menyangkut materi keagamaan yang mesti dipenuhi yaitu sebagai berikut:
1. Valid (shahih); yaitu menyangkut tingkat kebenaran materi (bukan merupakan materi yang khilafiah), dan materi tersebut memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan;
2. Signifikan (significance); yaitu menyangkut kesesuaian/ kesepadanan materi tersebut dengan pokok bahasan atau sub pokok bahasan pelajaran matematika;
3. Kebermaknaan (utility); yaitu tingkat kemanfaatan baik secara akademis ataupun non akademis. Akademis artinya materi tersebut dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya. Sedangkan Non Akademis artinya materi tersebut dapat mengembangkan kecakapan hidup (life skills) dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari;
4. Layak dipelajarai (learn ability); artinya materi yang dimaksud me-mungkinkan untuk dipelajari dan dalam kadar yang tepat (tidak terlalu mudag dan tidak terlalu sulit); dan
5. Menarik minat (interest); artinya materi tersebut harus dapat menarik perhatian siswa, dapat memotivasi siswa, dapat mengembangkan rasa ingin tahu dan juga mampu memberi dorongan untuk mengembangkan kemampuan sendiri.








DAFTAR PUSTAKA
Allendoerfer dan Oakley. (1965). Fundamentals of Freshman Mathematics. New York: Mc Graw Hill Book Company.

Beerling. (1986). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bush, Grace A dan Young, John E. (1973). Foundations of Mathematics, New York: Mc Graw Hill Book Company.

Effendi, Usman; Praja, Juhaya S.(1985).Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa.

Fehr, Howard F; Suria Sumantri, Jujun S. (1987). Komunikasi Pemikiran Keilmuan; Ilmu Dalam Perspekstif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Leknas-LIPI.

Holland, Roy. (1984). Kamus Matematika. Jakarta: Erlangga.

Hudson, Frank M dan W Donald. (1970). Introduction to Mathematics. Menlo Park California: Addison-Wesley Publishing Compaby.

Kemmeny, John G; Suria Sumantri, Jujun S. (1987). Matematika Tanpa Bilangan Matematika Untuk Ilmu Sosial; Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Leknas-LIPI.

Kline, Morris; Suria Sumantri, Jujun S. (1987). Matematika; Ilmu Dalam Perspekstif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Leknas-LIPI,

Ruseffendi, ET. (1979). Pengantar Pengajaran Matematika Modern. Bandung: Tarsito.

Agama dan Perubahan Sosial

AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL
Disampaikan oleh Aep Sy Firdaus
pada Khutbah Idhul Fitri di Masjid As-Siraj Patal Cipadung Bandung
Tanggal 24 Oktober 2006

Maasyiral Muslimin Jamaah Id Rahimakumullah.

Marilah dalam suasana yang damai dan khusyu ini, kita gunakan untuk lebih memantapkan kadar keimanan dan ketakwaan kita kepada Alloh SWT. Dzat yang memiliki kekuasaan mutlak dimuka bumi ini. Seraya kita banyak melakukan takbir, tahmid dan tahlil, agar hidup kita tidak tersesat dan terjerumus dalam kehidupan yang dimurkai Allah Rabbul alamin. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah saw, figur teladan yang patut kita ikuti jejak-jejak hidupnya dalam kehidupan didunia ini.

Kaum muslimin dan muslimat jamaah id yang dimuliakan Alloh
Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan.
Bahkan sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan.
Namun tidak sedikit juga yang memaknai Idul Fitri sebagai momen yang sangat menakutkan, karena mereka dihadapkan kepada berbagai kebutuhan makanan yang enak, baju baru, budaya mudik dan lain sebagainya.
Barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “memaknainya”. Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama inipun membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat. Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang diinginkan syariat.
Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya.

Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri. Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tuanya saja. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang diinginkan syariat. Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus memaksakan diri mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya.



Allohu akbar 3X walillahilham
Kaum muslimin jamaah Id yang dimuliakan Alloh
Idul Fitri merupakan salah satu aktivitas ummat Islam yang ke khasannya mudah disaksikan sebagai bentuk kegiatan keagamaan.
Sebagai aktivitas keagamaan yang khas, sebagian kalangan menilai, seolah-olah hanya menjadi kekuatan moral dan menjadi alat legitimasi bagi kaum mustad’afin yang tak mampu bangkit dari ketertindasannya. Persoalan kemiskinan, ketimpangan sosila-budaya, marginalisasi dan eksploitasi dianggap hal yang given. Hal ini bersandar pada rasionalisasi bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah menjadi taqdir Tuhan sejak zaman Azali.
Meminjam istilah Moh.Abduh bahwa penggunaan teologi jabariyah tersebut telah membuat umat Islam menjadi stagnan dan tidak progresif, di mana akal dan kedaulatan manusia diletakkan dibawah teks dan kehendak Tuhan. Padahal jika umat Islam mau, maka dapat mempelajari bagaimana hebatnya perjuangan Rasulullah saw ketika melakukan pembebasan budak-budak dari belenggu pemiliknya.
Ajaran tauhid dalam konsepsi Nabi Mohammad saw erat kaitannya dengan perubahan sosial dari tatanan yang ekploitatif menuju tatanan yang berkeadilan. Namun, nampaknya kegagapan, serta kekakuan dalam mengkontekstualisakan teks, telah membuat agama kehilangan substansinya dari semangat perubahan sosial.

Allohuakbar 3 X walillahilhamdu
Jamaah Id Rohimakumulloh
Selama ini, elit keagamaan hanya sibuk dengan persolalan ritual-transendental semata, demi mencapai surganya Tuhan. Nampaknya, seolah-olah tidak ada lagi kesempatan bagi kaum masakin, bodoh dan orang terbelakang untuk masuk surga, sebab kemiskinan yang menderanya, telah membuatnya lalai untuk menjalalankan perintah-Nya.

Padahal agama adalah cara untuk memahami dunia, akan tetapi realitas yang terjadi justru kita lebih asyik sendirian dengan Tuhan. Sehingga marginalisasi, eksploitasi kemanusiaan oleh kelas dominasi tidak lagi dimaknai sebagai pengingkaran dari pesan-pesan agama, dan telah dianggap menjadi hal yang biasa dalam kehidupan ini.

Mestinya, marginalisasi dan penindasan bagi kaum mustad’afin dijadikan prioritas bagi kita kaum muslimin untuk melakukan perubahan dengan semangat iman dalam bentuk amal. Hal ini sesuai dengan anjuran Alloh untuk selalu berlomba-lomba dalam kebajikan (Fastabiqul Khoerot).
Keshalehan personal terhadap Tuhan tidak akan mampu membendung arus penindasan dan marginalisasi oleh kelas dominasi terhadap kaum mustad’afin. Sejatinya, keshalehan ini diwujudkan dalam interaksi dan sistem sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Allohuakbar 3X walillahilhamdu
Jamaah Id yang dimuliakan Alloh
Jika agama tidak menjadi sumber perubahan, maka agama hanya akan menjadi sesuatu yang formal tanpa memiliki makna yang signifikan dalam kehidupan manusia, bahkan lebih tragis, secara lambat laun agama akan ditinggalkan oleh penganutnya.

Agama lahir bukan diruang hampa, kelahiran agama sebagai respon dari realitas sosial yang menindas. Maka paradoks sekali, ketika orang yang mengaku taat beragama justru mengingkari pesan agama.

Secara historis agama hadir untuk memerangi ketidakadilan yang dilakukan oleh kelas penguasa. Seperti halnya agama yang dibawa Musa as, ini tidak lain semata-mata untuk menggugat dan memerangi ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan Fir’aun terhadap rakyatnya.

Begitu juga dengan Islam, kiranya "rahmatal lilalamin" tidak akan berarti apa-apa ketika tidak mampu memecahkan persoalan kemanusiaan. Inipun menjadi ahistoris dari kelahirannya, karena agama Islam yang dibawa Nabi Mohammad saw hadir ditengah-tengah realitas sosial yang timpang dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Maka, keterlibatan agama Islam dalam ranah sosial-politik menjadi mutlak adanya.

Ketika agama berusaha didefinisikan sebagai sebuah komunitas iman, bisa disebut sebagai agama manakala memiliki delapan unsur pokok di dalamnya. Salah satu unsur pokok itu adalah keterlibatan agama dalam kehidupan sosial politik (involvement in social and political contexts). Maka, tak dapat dipungkiri bahwa semua agama yang ada di dunia mempunyai keterlibatan sosial dan politik, dimana perubahan menjadi inspirasi bagi setiap agama.

Penelitian Syaiful Mujani menjadi analisa kritis terhadap substansi iman, karena kualitas iman yang diderivasikan ke dalam keshalehan ritual, seperti menjalankan perintah agama (sholat, puasa, haji, zakat) tidak serta merta mengindikasikan keshalehan sosial. Justru, sebaliknya banyak dari responden yang shaleh secara ritual malah mengartikulasikan sikap yang bertolak belakang dari implikasi sosial yang semestinya diharapkan.

Iman dan amal menjadi mata rantai yang harus sinergis, oleh karena itu keduanya tampil menjadi meanstream dalam sebuah perubahan sosial.

Allohuakbar 3 X walillaahilhamdu
Akan sulit kiranya, sebuah perubahan jika iman hanya disandarkan pada keshalehan vertikal (mahgdah) tanpa dibarengi dengan keshalehan social (horizontal) yang lebih memihak kepada persoalan kemanusian. Inti dari iman tidak cukup percaya kepada Tuhan, namun iman bisa berfungsi untuk memerangi ketidakadilan dan pembebasan manusia,

DR Moeslim Abdurrahman melontarkan ide cemerlangnya mengenai "Teologi Islam transformatif". Di mana Islam transformatif adalah Islam yang membuat distingsi dengan proses modernisasi atau modernitas, karena di dalam proses modernisasi itu banyak orang yang semakin tidak perduli terhadap persoalan perubahan atau proses sosial yang semakin memarginalkan orang-orang yang tidak punya akses dengan pembangunan

Penindasan dan pemarginalan terhadap kau duafa’ dan masakin ini sering dilakukan oleh kelas-kelas dominan. Pun, elit keagamaan menjadi bagian dari proses dehumanisasi ini.

Bersandar pada realitas seperti itu, maka Idhul Fitri kali ini dapat menjadi momen yang tepat untuk menghadirkan agama Islam sebagai rahmatalilalamin bagi seluruh umatnya dan menjadi alat untuk menghadang dan membendung kemungkaran sosial.

Renungan-renungan
Kita sering merasa betapa besarnya nilai uang kertassenilai Rp.100.000, apabila dibawa ke masjid untuk disumbangkan; tetapi kita merasa betapa kecil nilainya kalau kita membawanya ke Mall untuk dibelanjakan!Betapa lamanya menghadap Alloh walau hanya limabelas menit melalui Sholat namun terasa singkatnya kalaukita melihat film atau berita gossip.Betapa sulitnya untuk mencari kata-kataketika berdoa kepada Alloh, namun betapa mudahnyakalau mengobrol atau bergosip dengan temantanpa harus berpikir panjang-panjang.Betapa asyiknya apabila pertandingan sepakbola
diperpanjang waktunya, namun kita mengeluh ketika khotbah di masjid lebihlama sedikit daripada biasa.Betapa sulitnya untuk membaca satu lembarAl-qur'an namun betapa mudahnya membaca 100halaman dari novel yang laris.

Betapa getolnya orang untuk duduk di depandalam pertandingan atau konser namunkita lebih senang duduk di barisan paling belakang dimasjidBetapa Mudahnya membuat 40 tahun dosa demi memuaskan nafsu birahi semata, namun alangkah sulitnya ketika menahan nafsu selama 30 hari ketika berpuasa.Betapa sulitnya untuk menyediakan waktuuntuk sholat 5 waktu; namun betapa mudahnyamenyesuaikan waktu dalam sekejap padasaat terakhir untuk event yang menyenangkan.Betapa sulitnya untuk mempelajari arti yangterkandung di dalam al qur'an; namunbetapa mudahnya untuk mengulang-ulangi gosipyang sama kepada orang lain.
Betapa mudahnya kita mempercayai apayang dikatakan oleh koran namun betapa kitameragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci.Betapa banyaknya orang ingin masuk sorgadengan tidak perlu beriman dan berpikir,
atau tidak merasa perlu berbuat apa-apa.






DO’A

Jamaah Id yang dimuliakan Alloh
Sebelum kita berdo’a bersama marilah kita bersama-sama membaca istighfar 3 kali, untuk membuka pintu do’a ke hadirat Alloh swt.

Ya Alloh, ya Rohman, ya Rohiim
Kami berkumpul di tempat ini, semata-mata karena kehendakMu ya Alloh. Untuk mensyukuri ni’mat yang telah Engkau berikan kepada kami. Salah satunya adalah ni’mat Iman dan Islam serta ni’mat usia, sehingga kami masih diberi kesempatan menyambut hari fitri ini, sementara banyak orang lain yang tahun lalu masih dapat mengikutinya tapi tahun ini telah dipangil olehMu ya Alloh

Kami panjatkan syukur atas ni’mat yang telah Engkau limpahkan kepada kami. Engkau telah melimpahkan kepada kami, bibit-bibit mujahid, mujaddid, dan mujtahid, yakni para inteletektual muda, yang lahir dari masyarakat yang sedang memperkuat keimanannya.

Allohumma ya Ghafuur
Di hari raya idhul fitri yang berbahagia ini. Ampunilah dosa-dosa kami, dosa ibu bapak kami, sayangilah keduanya itu ya Rabbi, seperti keduanya membuai sayang kepada kami di waktu kecil.

Ya Alloh ya Rohman ya Rohiim
Ampunilah guru-guru kami, lantaran mereka telah mengorbankan segala-galanya dalam mengantarkan kami kepada kehidupan yang lebih mulia, dengan ilmu pengetahuan yang kami miliki

Allohumma rabbana
Terimalah ibadah kami, dan jadikanlah ibadah kami itu sebagai sarana kami meningkatkan ketaqwaan kepada Mu ya Alloh. Sebagai sarana untuk memperkokoh ketauhidan dan menghilangkan kemusyrikan.

Ya Alloh ya Rohman ya Rohiim
Lembutkanlah hati kami, untuk dapat merasakan kepedihan orang lain, kepedihan saudara-saudara kami khususnya yang sedang ditimpa musibah. Gerakkanlah hati dan akal kami untuk dapat mentafakkuri musibah itu, dan menjadikannya sebagai sarana menolong orang lemah yang tak berdaya. Kuatkanlah dana dan daya kami untuk dapat melaksanakan segala keinginan baik ini ya Rabbi.




Ya Alloh ya Rohman ya Rohiim
Engkaulah yang memiliki karunia, Engkaulah yang mampu mewujudkan keinginan dan Engkaulah yang Gagah Perkasa yang melindungi dan membimbing perjuangan kami. Oleh sebab itu ya Alloh lindungilah kami, bimbinglah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalannya para Nabi dan Shalihin. Cegahlah kami dari menjalani kehidupan orang-orang yang sesat dan dimurkai Mu.

Ya Alloh ya Rohman Ya Rohiim
Kami ini akan buta jika tanpa penglihatan yang Engkau berikan
Kami ini akan tuli jika tanpa pendengaran yang Engkau berikan
Kami ini akan bisu jika tanpa alat ucap yang Engkau berikan
Oleh sebab itu yang Alloh, berikanlah kepada kami alat penglihatan, alat pendengaran dan alat pengucapan yang bermanfaat di dunia dan akhiran.

Ya Alloh ya Rohman Ya Rohiim
Kami ini akan sesat tanpa petunjukMu ya Alloh
Kami ini akan gelisah tanpa hidayahMu ya Alloh
Kami ini akan menjadi lemah tanpa kekuatanMu ya Alloh
Oleh sebab itu ya Alloh berikanlah kepada kami petunjukMu, hidayahMu dan kekuatanMu, agar kami dapat lebih mendekatkan diri kepadaMu


Ya Alloh ya Rohman ya Rohiim
Berilah hidayah dan taufiq, pada pimpinan negara dan masyarakat kami. Bila mereka lemah, maka kuatkanlah. Bila mereka keliru, luruskanlah. Bila mereka hilap, ingatkanlah. Bila mereka penuh kekurangan, tambahlah kemampuannya. Karena ya Alloh mereka adalah manusia-manusia biasa, yang lemah, yang mungkin keliru dan khilaf sebagai salah satu sifat kemanusiaannya.

Ya Alloh ya Rohman Ya Rohiim
Kabulkanlah segala do’a dan harapan kami, amiin

Hikmah Dibalik Kesejarahan Ibadah Haji

KHUTBAH JUM’AT
Di MASJID MIFTAHUL ULUM BDK BANDUNG
TANGGAL 19 DESEMBER 2008
OLEH : AEP SY FIRDAUS
KHUTBAH I

Saudara-saudara Kaum Muslimin Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Sejak minggu ini jamaah haji Indonesia yang berjumlah sekitar 200 ribu lebih jamaah sudah mulai tiba kembali di tanah air, setelah selesai melaksanakan rangkaian ritual ibadah haji di tanah suci. Jemaah sebanyak 200 ribu orang lebih, suatu jumlah yang cukup besar dan insya Alloh akan memiliki gema sosial yang amat besar, manakala mereka pulang ke tanah air dengan mendapat anugerah Alloh menjadi haji yang mabrur.

Tidak ada ganjaran lain bagi haji yang mabrur kecuali surga
Begitu dinyatakan Rasul dalam salah satu haditsnya. Hal itu tidak lain lantaran haji yang mabrur adalah orang yang mampu menampilkan Islam, bukan hanya dalam dimensi hubungan dengan Alloh saja, namun juga mampu menampilkan dimensi hubungan sesama manusia. Tidak terbayangkan betapa indahnya suasana kehidupan sosial kita, manakala posisi-posisi strategis dalam kehidupan sosial dipegang oleh manusia-manusia yang mabrur ibadah hajinya. Oleh sebab itu sepantasnyalah setiap ummat Islam mendoakan saudaranya yang sudah beribadah haji tersebut supaya mereka jadi haji yang mabrur, amien ya robbal ‘alamien.



Saudara-saudara Jamaah Jum’at. Rohimakumulloh
Sedikitnya ada 2 hal yang menarik untuk kita ambil hikmahnya dari peristiwa kesejarahan ibadah haji tersebut.
Hikmah Pertama adalah Proses pencarian Tuhan oleh Ibrahim sebelum menjadi Rosul.
Kita melihat bahwa Ibrahim as, adalah prototipe manusia mukmin yang keimanannya dibangun atas dasar pencarian yang dilakukan sejak usia dini. Ketika beliau masih kanak-kanak, beliau hidup ditengah masyarakat penyembah berhala di suatu negeri yang disebut Caldea. Namun walaupun demikian, Ibrahim kecil tidak terbawa arus untuk melakukan penyembahan kepada berhala-berhala, tetapi malah sebaliknya beliau terus menerus mencari Tuhan lewat fenomena alam, yaitu matahari, bintang dan rembulan dan pada akhirnya menemukan Alloh sebagai Tuhannya
Dengan demikian, keimanan beliau tidak disandarkan kepada semata-mata dogma yang dibangun atas kepercayaan buta, tetapi keimanan Ibrahim didasarkan kepada argumen-argumen rasional. Bahkan setelah itu beliau pun datang kepada Bapaknya dan kaumnya untuk berkata : Apakah yang kamu sembah itu ? Apakah kamu menghendaki tuhan selain Alloh dengan jalan berbohong ? Hal ini dilukiskan dalam al-Qur’an surat Asy-Syaffat ayat 85-86 yakni
Kaum muslimin jamaah Jum’at yang dimuliakan Alloh.
Hikmat Kedua adalah Tauladan dari Keluarga Ibrahim.
Ada tiga sosok pribadi dalam keluarga Ibrahim
Sosok pertama dalam keluarga ini adalah Ibrahim sebagai Bapak, sebagai kepala keluarga yang demokratis yang senantiasa berjuang pantang menyerah dalam menjalani kehidupannya.
Sebagai seorang Bapak, ia senantiasa mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dengan istri dan anaknya, termasuk saat beliau menerima perintah untuk menyembelih Ismail putranya. Sebagai seorang suami, Ibrahim as berani menempuh liku-liku hidup yang garang dan kejam, pergi bolak-balik antara Palestina dan Mekkah, pada jaman yang mencapainya harus dengan jalan kaki atau sekedar naik binatang. Hal ini dilakukan untuk mendidik istri dan anaknya Isma’il yang tinggal di Mekkah, dalam keadaan beliau sendiri masih punya kewajiban da’wah pada masyarakat dan keluarga di Palestina.

Sosok kedua dalam keluarga ini adalah Siti Hajar, sebagai seorang istri ia berani dan rela ditinggalkan suami yang sedang melaksanakan da’wah menyebarkan nilai kebenaran dari Alloh SWT. Siti Hajar adalah seorang ibu yang penuh dengan kasih sayang merawat Isma’il, padahal suaminya Ibrahim sedang tidak ada disampingya. Bahkan berkat kasih sayang yang dimilikinya sebagai seorang ibu, Siti Hajar dengan usaha yang tak kenal putus asa lari kesana kemari antara bukit Shafa dan Marwa hanya untuk mencari setetes air, karena melihat anaknya Isma’il kehausan. Inilah pesan moral yang terkandung dalam pelaksanaan sa’i.
Sa’i memberikan makna berpantang mati. Hidup harus dihadapi dengan usaha untuk menghalau segala rintangan, tentunya dengan kesabaran, keuletan dan ketaqwaan kepada Alloh SWT. Sebagaimana firman Alloh dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 45:

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya hal itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusu
Sikap optimis dan tawakal yang tercermin dalam amaliyah sa’i sangat penting dalam kehidupan seorang muslim. Disini kita menangkap, bahwa kesungguhan yang dilakukan Siti Hajar dalam mencari air sebagai “nyawa kehidupan”, yang pada akhirnya Alloh pun memberikan karunia air zam-zam yang sampai saat ini masih dapat dinikmati oleh kaum muslimin seluruh dunia, membuatnya harus melakukan sa’i tujuh kali. Hal ini memberikan arti bahwa hari-hari yang berjumlah tujuh setiap pekan, selayaknya dipenuhi dengan usaha yang sungguh-sungguh.

Selanjutnya sebagai seorang ibu, Siti Hajar pun rela saat melepaskan si buah hati Isma’il, menjadi martir tonggak sejarah peradaban manusia, untuk dikorbankan lantaran memenuhi panggilan Alloh. Suatu perasaan ikhlas seorang ibu, yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan, telah mengalahkan perasaan dan sifat manusiawinya.

Sosok ketiga dalam keluarga ini adalah Ismail. Ismail sebagai seorang pemuda yang masih belia, berani mengorbankan dirinya sendiri untuk memenuhi perintah Alloh dengan segala kesungguhan, ketekunan dan kesabaran, pada saat sepertinya ayahnya sendiri ragu untuk mengerjakannya. Beliau sebagai seorang anak, sebagi seorang pemuda malah memberi semangat kepada ayahnya untuk tidak ragu melaksanakan perintah Alloh untuk menyembelih dirinya.

Saudara-saudara jamaah Jum’at rohimakumulloh
Keberhasilan kehidupan keluarga Ibrahim as tersebut, kalau kita tilik lebih jauh, jelas lantaran adanya kesejalanan ide dan pikiran antara Bapak, Ibu dan Anak.
Dalam hal ini sejarah telah membuktikan, seorang nabi sekalipun manakala da’wahnya tidak didukung oleh istri dan atau anak-anaknya, ternyata menemui kegagalan. Contoh yang paling dikenal adalah Nabih Nuh as dan Nabi Luth as.
Ini membuktikan kepada kita bahwa keberhasilan pendidikan dalam keluarga dan da’wah di masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kesatuan ide dan pikiran tiga komponen keluarga yakni Bapak, Ibu dan anak.
Keadaan inilah yang antara lain menjadikan Ibrahim dan keluarganya diabadikan oleh Alloh SWT, jadi prototipe pribadi dan keluarga yang berbarkah sehingga kita ummat Islam pada tiap-tiap sholat membaca do’a shalawat supaya Muhammad saw dan keluarganya diberkati Alloh sebagaimana berkah yang telah diberikan Alloh kepada Ibrahim dan keluarganya.
:
Apakah si anak celaka atau bahagia, ibu bapaknyalah yang harus mempersiapkan sebelum kelahiran anak. Dalam hadits lain bahkan lebih ditegaskan lagi bahwa kebahagiaan hari depan anak-anak kita amat tergantung pada langkah-langkah pendidikan ibunya :
Surga itu berada pada langkah-langkah bimbingan ibunya.

Dan dalam tatanan makro, adalah merupakan kewajiban moril bagi kita semua untuk mendorong para pembuat keputusan supaya rumah-rumah tangga ummat Islam generasi yang akan datang terlindungi, terpelihara dan dapat mengembangkan keimanan dan keislaman dalam rumah tangga mereka, sehingga tercapai tujuan rumah tangga sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

KHUTBAH II
Kaum Muslimin jamaah Jum’at yang dimuliakan Alloh
Kita semua tentunya berharap supaya hidup sakinah, tentram, terjaga dalam keyakinan beragama, disirami cinta kasih dan kasih sayang yang tidak hanya terbatas kepada kehidupan dunia, namun menembus ke alam akhirat kelak.
Untuk itulah ada satu do’a yang sangat indah dalam al-Qur’an yang sebaiknya selalu dibaca oleh keluarga-keluarga muslim :


Ya Alloh, jadikanlah istri kami dan anak-anak kami menjadi buah hati kami. Dan jadikalnlah sebagai suri tauladan bagi orang-orang yang bertaqwa.

Kaum muslimin rohimakumulloh
Sebagai orang awam kebanyakan, mari kita munajat kepada Allow SWT:


Allohumma ya Alloh
Kami datang ke tempat ini, semata-mata memenuhi panggilan-Mu untuk memohon rohmat dan berkah-Mu, untuk memohon ampunan dan cinta kasih-Mu
Ya Alloh ya rohman ya rohim, ampunilah dosa Ibu bapak kami, ampunilah dosa guru-guru kami. Kami jadikan saksi sepantasnya mereka mendapat ampunan-Mu, lantaran mereka telah mengorbankan segala-galanya dalam mengantarkan kami kepada keislaman ini ya Alloh.
Ya Robbana. Berilah hidayah dan taufiq pada pimpinan dan masyarakat kami, bila mereka lemah kuatkanlah, bila mereka keliru luruskanlah, bila mereka lupa ingatkanlah, bila mereka dholim kepada kami ingatkanlah, ya Alloh
Allohummah Robbana. Cucurkanlah rohmat dan berkah kepada anak cucu kami dan ciptakanlah keluarga kami, agar mampu memiliki nilai-nilai Ilahiyah dalam hidupnya, agar tidak tergoda semaraknya nafsu, agar tidak tergiur cumbu rayu syaithan, dan agar hidupnya bahagia di dunia akhirat.

Ya Alloh, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doa kami.
KONSEP DASAR PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Oleh : Aep sy Firdaus

A. Pendahuluan

Untuk membahas konsep dasar pembiayaan pendidikan, terlebih dahulu perlu adanya pemahaman dasar mengenai pentingnya pendidikan.

Pendidikan merupakan kegiatan yang khas manusiawi. Hanya manusia yang secara sadar melakukan usaha pendidikan untuk sesamanya. Pendidikan adalah kegiatan antar manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Hal ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi fisiknya, mentalnya, emosionalnya, sosialnya, dan etiknya. Ringkasnya, pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi seluruh aspek kepribadian dan kehidupan individu.

Apabila dihubungkan dengan keberadaan dan hakekat kehidupan manusia, kegiatan pendidikan diarahkan kepada empat aspek pembentukan kepribadian manusia (Dirjen Dikti-Materi Dasar Program Akta V: 1982 : 20-22), yaitu :
Pengembangan manusia sebagai makhluk individu; hal ini mengandung arti bahwa pendidikan memberi bantuan agar manusia mampu mandiri. Dengan kata lain, manusia perlu mengalami perkembangan dalam kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor. Sebagai makhluk individu, manusia memerlukan pola tingkah laku yang tidak merupakan tindakan instinktif;
Pengembangan manusia sebagai makhluk sosial; hal ini didasarkan bahwa selain sebagai makhluk individu, manusia juga makhluk sosial. Manusia adalah makhluk yang senantiasa berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkannya secara seorang diri saja. Obyek sosial yang ditemukan di luar diri individu akan amat berpengaruh terhadap perkembangan individu tersebut. Dan melalui pendidikan dapat dikembangkan suatu keadaan yang seimbang antara perkembangan aspek individual dan aspek sosialnya;
Pengembangan manusia sebagai makhluk susila; Setiap masyarakat dan bangsa mempunyai norma-norma dan nilai-nilainya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya, seandainya dalam kehidupan manusia tidak terdapat norma-norma dan nilai-nilai tersebut. Hanya manusialah yang dapat menghayati norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupannya, sehingga manusia dapat menetapkan tingkah laku mana yang baik dan bersifat susila atau sebaliknya. Melalui pendidikan dikembangkanlah manusia susila, dan yang mendukung norma, kaidah dan nilai-nilai susila yang dijunjung masyarakatnya; dan
Pengembangan manusia sebagai makhluk beragama; aspek kehidupan manusia dalam kaitan dengan Tuhannya, tentunya harus dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Semua ini tentunya hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan.



Meskipun pendidikan merupakan fenomena dan usaha manusiawi yang pasti terselenggara di manapun manusia berada, namun fenomena dan usaha pendidikan itu tidak boleh dibiarkan sebagaimana adanya saja. Hal ini mengingat pendidikan memegang peranan sentral dalam perkembangan individu dan umat manusia secara keseluruhan dan dalam membudayakan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Dalam kaitan ini, maka usaha pendidikan perlu didasarkan atas pemikiran yang matang, baik pemikiran yang bersifat teoritis maupun yang mengarah kepada pertimbangan praktis dalam rangka mencapai hasil perkembangan dan pembudayaan manusia secara maksimal dan ekonomis.

Menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang harus dilakukan secara ekonomis, maka hal ini telah membawa pendidikan berkaitan dengan kegiatan produksi dan distribusi. Hal ini sebagaimana dikemukakan Elchanan Cohn (1979) bahwa pada intinya, ekonomi pendidikan berkaitan dengan;
Ø proses produksi pendidikan;
Ø distribusi pendidikan di kalangan individu dan kelompok yang bersaing; dan
Ø biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat atau individu untuk kegiatan pendidikan, dan jenis kegiatan apa yang dibutuhkan.

Dengan menempatkan pendidikan sebagai industri inilah, maka pendidikan secara ekonomi harus pula melihat sisi revenue (pendapatan) dan expenditure (pengeluaran).


B. Pembiayaan Pendidikan

Salah satu pertimbangan praktis ekonomis pada pendidikan tersebut adalah tentang pembiayaan. Pembiayaan merupakan salah satu komponen strategis dalam penyelenggaraan pendidikan, yang memberi dampak multidimensional terhadap input, proses, output dan outcomes pendidikan.

Pembiayaan pendidikan dalam proses perencanaan pendidikan adalah komponen esensial yang merupakan petunjuk bagi kelayakan atau feasibility suatu rancangan (Fakry Gaffar, 1987 : 62). Alasannya adalah, karena perwujudan rancangan itu akan tergantung kepada dasar dana yang dialokasikan.

Secara teoritis, konsep pembiayaan pendidikan mempunyai kesamaan dengan bidang lain, dimana lembaga pendidikan dipandang sebagai produsen jasa pendidikan yang menghasilkan keahlian, keterampilan, ilmu pengetahuan, karakter dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang lulusannya.





Nanang Fattah (2000: 4) menyatakan bahwa transaktor ekonomi yang berhubungan dengan pendidikan dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu :
Golongan produsen; terdiri dari pendidik, pengelola pendidikan, badan/ lembaga pemerintah dan swasta, dan keluarga yang membantu mendidik anak-anak di rumah;
Golongan konsumen; terdiri dari keluarga atau orang tua siswa, siswa itu sendiri, dan masyarakat secara umum.

Sedangkan biaya pendidikan pendidikan menurut Elchanan Cohn (1979), meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tak langsung (indirect cost).
Ø Kebanyakan biaya langsung (direct cost) berasal dari sistem persekolahan itu sendiri yang datang dari siswa atau keluarganya seperti: (1) biaya tambahan untuk ruangan, papan tulis, dan pakaian; (2) biaya transportasi/ angkutan sekolah; (3) biaya lainnya seperti buku-buku dan lain-lain. Cara untuk menghitung biaya langsung ini adalah dengan memperkirakan pendapatan yang hilang (earning forgone).
Ø Sedangkan biaya tak langsung (indirect cost) meliputi biaya kesempatan yang hilang, fokusnya pada : (1) pendapatan yang hilang oleh siswa karena sekolah; (2) pembebasan pajak yang secara umum dinikmati oleh lembaga nirlaba; dan (3) biaya yang berkenaan dengan penyusutan dan bunga bank.


C. Biaya Pendidikan sebagai Human Investment

Secara ekonomi setiap investasi yang ditanamkan, harus menghasilkan produk yang memiliki nilai tambah, sehingga dapat dikategorikan mempunyai keuntungan (benefit profit) yang dapat diukur dengan mudah.

Namun di dalam pendidikan walaupun secara ekonomi dipandang sebagai sebuah industri, tidak mudah untuk menghitung besarnya nilai keuntungan yang diberikannya. Hal ini lebih disebabkan karena selain dari sudut ekonomi, di sisi lain pendidikan juga dipandang sebagai sebuah misi sosial, yang keuntungannya terkadang baru dapat dihitung beberapa tahun kemudian. Keuntungan pendidikan tidak selalu dapat diukur dengan standar nilai ekonomi atau uang.

Dalam mengukur dampak pendidikan terhadap keuntungan ekonomi atau produktivitas seseorang, diperlukan asumsi-asumsi. Asumsi-asumsi bahwa produktivitas seseorang dianggap merupakan fungsi dari keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan. Ukuran hasil pendidikan kita gabungkan dengan data biaya pendidikan dapat menjadi ukuran efisiensi eksternal. Ada empat kategori yang dapat dijadikan indikator dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan , yaitu :
dapat tidaknya seseorang lulusan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tingi;
dapat tidaknya memperoleh pekerjaan;
besarnya penghasilan (gaji) yang diterima; dan
sikap perilaku dalam konteks sosial, budaya, dan politik (Nanang Fattah, 2000: 28)

Elchanan Cohn (1979: 14) merinci, bahwa pada dasarnya menelusuri “investment in human capital” dapat dipandang sebagai unsur “kemakmuran” (wealth) yang dapat diidentikan dengan “material capital”. Dalam dimensi ekonomi, pendidikan dipandang sebagai “human capital” dalam pengertian bahwa pendidikan menyediakan tenaga-tenaga terdidik dan terlatih, yang mempunyai skill. Karena investmen pengetahuan dan skill, merupakan investmen yang kritis dalam menentukan “rate of economic growth”.

Manusia sebagai pelaku ekonomi, dipandang sebagai unsur yang sangat menentukan dalam pertumbuhannya. Dalam perkembangan selanjutnya, pengetahuan dan skill yang dimiliki oleh manusia, akan sangat menentukan rate of economic growth.

Dalam konteks yang sama, M. Fakry Gaffar (2003) mengemukakan bahwa manfaat pendidikan antara lain:
Ø Human growth & development; yang dimaksudkan agar terjadi efisiensi, seimbang dan optimal;
Ø Meningkatnya kemampuan intelegensianya, kognitifnya, emosinya, value, unsur-unsur kepribadian lainnya yang merupakan kelengkapan manusia untuk tumbuh berkembang secara seimbang dan terpadu, sehingga mencapai pertumbuhan matang; dan
Ø Growth psycology, tingkat kematangan yang disebut dewasa/ kaffah

Dan untuk bisa menyediakan, menyelenggarakan pendidikan itu maka harus ada investment (modal) atau dengan kata lain harus dibiayai.

Dengan uraian tersebut, maka secara khusus dapat diambil suatu gambaran bahwa keberhasilan pendidikan akan dapat memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian juga halnya bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi akan dapat memberikan konstribusi terhadap kemajuan pendidikan. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Idealnya memang terjadi keseimbangan antara pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dengan pendidikan. Faktor-faktor dominan yang menumbuhkan ekonomi, adalah manusia. Makin tinggi kualitas manusia (yang dihasilkan melalui pendidikan), maka makin tingi pula pertumbuhan ekonomi secara kualitas ataupun kuantitas. Demikian juga halnya semakin tingi tingkat pertumbuhan ekonomi, maka akan semakin besar terhadap kontribusi pembiayaan pendidikan. Sehingga siklus seperti digambarkan di atas, selalu terjadi secara berkelanjutan tanpa henti.










D. Pajak sebagai Revenue Pendidikan

Revenue (sumber dana) pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pembiayaan pendidikan. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa aliran dana akan sangat mempengaruhi rancangan/ perencanaan pendidikan.

Di berbagai negara, pajak telah dijadikan sebagai revenue utama dalam upaya pencapaian sasaran-sasaran nasional termasuk di dalamnya pendidikan. Pendekatan yang dilakukan didasarkan kepada keadilan dan efisiensi dalam mengumpulkan/ mendapatkan pajak.

Richard M Bird (2003). Menjelaskan bahwa kebijakan pajak dibuat dengan memenuhi kriteria eksternal yaitu:
Ø Pertumbuhan ( Growth ). Tujuan pertumbuhan untuk kebijakan pajak ialah untuk menyediakan sumber-sumber yang diperlukan untuk formasi permodalan sektor publik dan pertumbuhan penting lainnya yang berhubungan dengan pengeluaran;
Ø Distribusi (Distribution). Kelonggaran pajak terhadap investasi mungkin meningkatkan angka pertumbuhan dalam keadaan-keadaan tertentu tetapi juga pada peningkatan biaya atau ongkos yang tidak setara dengan kekayaan dan pendapatan yang didistribusikan.
Ø Stabilisasi (Stabilization). Karakteristik dari sistem pajak banyak relevan pada tujuan-tujuan tingkat harga dan keseimbangan dari stabilitas pembayaran adalah merupakan “elastisitas” dengan kaitannya pada perubahan-perubahan pada tingkat pendapatan, oleh karenanya ketika ada perluasan yang dihasilkan oleh pajak meningkat maka pendapatan nasional juga meningkat.

Sedangkan yang termasuk Internal Criterion ( Kriteria Internal ). Diantaranya : Keadilan ( Equity), di mana posisi orang harus diperhatikan dalam merancang sebuah sistem perpajakan. Kriteria lainnya yang harus diperhatikan ketika merancang sistem perpajakan ialah kecukupan pendapatan, stabilitas pendapatan, kesederhanaan, keberagaman dari sumber-sumber pendapatan, keadaan ekonomi, kenetralan, kesadaran pajak dan sebagainya. Disisi lain untuk melakukan reformasi perpajakan diperlukan spesifikasi dari kerangka kebijakan yang sesuai dan implemantasi sistem pajak yang paling baik untuk sebuah negara.

Ada tiga pendekatan yang harus dikembangkan dalam konteks reformasi perpajakan dinegara-negara yag sedang berkembang , yaitu diantaranya;
Ø Pendekatan Etika (etical approach); ditujukan untuk teori-teori normatif yang mendasari etika dianggap untuk menjadi kekuatan dan daya meyakinkan yang diinginkan.
Ø Pendekatan Akseptabilitas (Acceptability Approach); Pendekatan ini ditekankan pada pentingnya menghasilkan proposal kebijakan yang dapat diterima. Pendekatan ini memerlukan penasehat tekhnis yang bisa menerima nilai-nilai dari kliennya.
Ø Pendekatan Positivistik ( Positivistic Approach ). Argumen-argumen dari bantuan tekhnis yang efektif dalam bidang perpajakan harus disesuaikan dengan kebijakan pemerintah yang benar-benar objektif.
Sementara pada dimensi politik, reformasi Pajak, harus meliputi :
Ø Political Will, keinginan pemerintah membuat keputusan
Ø Ability, kemampuan untuk melaksanakannya

Yang paling penting dalam melakukan reformasi pajak adalah dengan menghubungkan secara jelas antara pengeluaran dan penerimaan. Prinsipnya adalah meningkatkan pajak dalam hubungannya dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari pengeluaran pemerintah yang dibiayai dari pajak.

Agar mencapai hasil maksimal, sistem pajak berdasarkan keuntungan harus mendapat dukungan politik yang baik dan diadministrasikan secara tepat.

Untuk mereformasi hubungan fiskal antar pemerintahan serta pembiayaannya. Hal itu dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa prinsip dasar yakni;
Ø Transparansi; pembiayaan antara pemerintahan harus dalam sistem yang terbuka dan transparan, guna menghindari mis-informasi.
Ø Stabilitas; peraturan dan lembaga yang ada harus tetap stabil sepanjang waktu.
Ø Fleksibelitas; pada saat yang sama pertauran-peraturan dan institusi-institusi tersebut harus fleksibel dalam merespon perubahan eksternal.
Ø Inkrementalisme; mengembangkan dan meningkatkan apa yang sudah ada berdasar realitas histories dan institusional.


Daftar Pustaka antara lain :
1. Cohn, Elchanan. (1979). The Economic of Education Revised Edition. Cambridge: Ballinger Publishing Company
2. Dirjen Dikti. (1983). Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V. Jakarta: Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi
3. Nanang Fattah (2000). Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya
4. Fakry, Gaffar (1979). Perencanaan Pendidikan Teori dan Metodologi. Jakarta: PPLPTK. Dikti
5. Fakry, Gaffar (2000). Pembiayaan Pendidikan Permasalahan dan Kebijaksanaan Dalam Perspektif Reformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia IV
6. Henry Levin (2003). Financing Recurrent Education Strategies for Increasing Employment, Job Opportunities and Productivity