PENGINTEGRASIAN MATERI KEAGAMAAN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI MADRASAH
Oleh : Aep Sy Firdaus
A. Pengertian Materi Keagamaan
Menurut kurikulum dan silabus Departemen Agama RI, yang dimaksud dengan materi keagamaan adalah keseluruhan materi pelajaran Agama Islam di Madrasah, yang meliputi :
· Materi al-Qur’an Hadits;
· Materi Aqidah Akhlaq;
· Materi Fiqih;
· Materi Sejarah Kebudayaan Islam; dan
· Materi Bahasa Arab
Namun lebih luas lagi, yang dimaksud dengan materi keagamaan menurut Imam Al-Ghazali sebagaimana ditulis Hamdani (1998 :235), yaitu meliputi :
· Aspek pendidikan keimanan yang menekankan bahwa prinsip keimanan harus didasarkan kepada syahadatain, yaitu syahadat Tauhid dan syahadat Rasul;
· Aspek pendidikan akhlak yang berkaitan dengan perilaku manusia dalam upaya pembentukan budi pekerti manusia;
· Aspek pendidikan akliah hakikat akal adalah puncak gazirah (semangat) untuk mengetahui akibat dari semua persoalan dan mengendalikan hawa nafsu;
· Aspek pendidikan sosial dengan konsep bahwa manusia harus hidup bersama orang lain sehingga memerlukan nilai dan norma masyarakat untuk menyesuaikan diri secara baik; dan
· Aspek pendidikan jasmaniah yang merupakan salah satu dasar pokok untuk mendapatkan kemajuan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia
B. Tujuan dan Fungsi Materi Keagamaan
Tujuan utama materi keagamaan dalam proses belajar mengajar (PBM) matematika adalah mewujudkan konsep keterpaduan. Keterpaduan yang menghilangkan dikotomi pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Sehingga tidak ada lagi pengkotak-kotakkan ilmu ke dalam ilmu “umum” dan ilmu “agama”.
Dalam pandangan Dr Mochtar Naim, memberikan deskripsi atas ilmu, yaitu alat yang diberikan kepada manusia untuk mengetahui dan mengenal rahasia-rahasia alam ciptaan Tuhan, yang dengan itu mereka bisa memeliharanya dengan sebaik-baiknya sebagai khalifat Alloh di muka bumi ini (Marwan Saridjo, 1999:32).
Dengan pandangan di atas, menurut Dr Mochtar Naim semua macam ilmu apapun, jika saja diletakkan dalam wadah misi itu akan menjadi “Islami”, dan di luar itu “tidak Islami”. Ide untuk mengintegrasikan pengetahuan “umum” dan pengetahuan “agama” memang telah lama menjadi cita-cita sebagian ulama dan intelektual Indonesia. Dr Imaduddin Abdurrahim dalam beberapa forum seminar berulangkali menyampaikan ide Islami Ilmu pengetahuan dan menolak atau mengecam keras pemisahan ilmu Islam dan ilmu umum seperti yang terdapat dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi.
Tokoh Islam lain yang menolak pemisahan pengetahuan “umum” dan “agama” yaitu Sidi Gazalba dan Prof A. Hasjmi. Dalam makalahnya “Konsepsi Ideal Darussalam” Prof A. Hasjmi menyatakan : memperdalam Ilmu Agama Islam berarti mempelajari secara mendalam segala bidang ilmu, karena semua ilmu Islam, baik yang dinamakan Al-Ulumul Naqliyah maupun Ulumul Aqliyah.
Lebih khsusus lagi, tujuan materi keagamaan dalam proses belajar mengajar (PBM) matematika di madrasah adalah :
1. memberikan pemahaman kepada siswa bahwa tidak ada dikotomi antara pelajaran matematika dan pelajaran agama;
2. memberikan pemahaman kepada siswa bahwa penguasaan pelajaran matematika bermanfaat juga untuk menjalankan syariat agama secara benar
Sedangkan fungsi utama dari materi keagamaan dalam proses belajar mengajar (PBM) matematika adalah sebagai strategi pengelolaan pembelajaran matematika, yang pada akhirnya akan mengubah paradigma pembelajaran dari teaching menjadi learning. Sehingga proses ini berupaya :
1. menjadikan materi pelajaran sebagai bahan pembicaraan yang menarik siswa;
2. melakukan asosiasi materi keagamaan dengan pelajaran matematika;
3. menjembatani materi pelajaran yang bersifat abstrak (teoritis) ke yang bersifat khusus (nyata/ realistis); dan
4. menciptakan suasana kelas yang menarik, rileks dan tidak tegang.
C. Faktor-faktor yang Mendukung Pembelajaran Matematika
Pada dasarnya proses pembelajaran matematika tidak berbeda dengan proses pembelajaran lainnya. Pembelajaran di sekolah dapat dipandang sebagai suatu sistem yang terbuka. Belajar matematika akan berhasil, jika proses belajarnya baik, yaitu melibatkan intelektual siswa secara optimal dimana aktivitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang mendukung maupun yang menghambat. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor siswa, faktor guru, prasarana dan sarana.
Kesiapan siswa dalam belajar menyangkut perhatian, kemampuan, kesiapan, sikap, minat dan intelegensi merupakan faktor-faktor penting yang harus dapat sesegera mungkin dideteksi oleh guru. Guru sering dipandang/ menganggap diri sebagai pelaku utama dalam setiap pembelajaran di kelas, sehingga tak seorangpun berhak turut campur dalam manajemen di kelas. Persoalannya adalah efektifkah pembelajarab matematika tersebut ?
Dewasa ini, guru bukan satu-satunya nara sumber bagi siswa. Kemajuan teknologi terutama arus informatika telah mendorong matematika sebagai alat bantu untuk berfikir nalar dan logis. Oleh sebab itu, guru sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pembelajaran matematika tersebut harus menguasai metodologi pembelajaran matematika terkini (modern), selain penguasaan materi/ substansi pokok dari matematika itu sendiri.
Ada beberapa hal yang perlu untuk dicermati dalam pengajaran matematika tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Bambang Wisono, 2000: 1-3), yaitu sebagai berikut :
1. Mendidik, termasuk mendidik mata pelajaran matematika merupakan hal yang sulit. Jauh lebih sulit ketimbang menawarkan polis asuransi. Harvey Mc Kay bahkan menyatakan “Guru berhasil adalah marketer yang paling hebat”, karena guru menawarkan sesuatu yang abstrak yaitu pengertian;
2. Untuk mampu mendidik (proses pencerahan, pemberdayaan dan menumbuhkan motivasi berpartisipasi) dibutuhkan kesungguhan, komitmen, kesabaran dan kepemimpinan;
3. Mendidik mata pelajaran matematika (juga mata ajar lainnya) membutuhkan kreativitas (bertolak belakang dengan matematika itu sendiri yang logic, dan tanpa perasaan). Dan hal ini yang cenderung dilupakan oleh guru matematika;
4. Kreativitas dibutuhkan terutama untuk mengaitkan mata ajar dengan “kondisi yang sesungguhnya”. Sebaiknya pendidik mencari satu dua contoh yang diambil dari keadaan yang sebenarnya yang ada di sekitar siswa;
5. Buatlah “manuver dan akrobat” atau “permainan” dalam mengajarkan matematika. Sehingga pengajaran matematika menjadi menyenangkan dan menjadikan matematika tidak kering, dingin, dan tanpa perasaan; dan
6. Ingatlah, bahwa guru sekarang dan masa datang adalah guru yang mampu memotivasi siswa agar mampu belajar mandiri. Bukannya guru sebagai gudang ilmu, sebab ilmu ada di mana-mana di rak buku, di internet dan sebagainya.
D. Konsepsi Pembelajaran Matematika
Matematika sebagai mata pelajaran menjadi sejauh dan seluas yang dapat dibuat oleh pengajarnya. Hal ini akan merupakan suatu diskusi yang menarik. Akan tetapi yang menentukan bagi proses pelajaran dan pendidikan adalah bagaimana hal tersebut dibicarakan, dan dalam kondisi belajar yang bagaimana. Hal tersebut lebih dari hanya masalah metodik. Disini terletak juga pengertian matematika secara mendasar dan juga filsafat pendidikan yang mendasarinya.
Hingga sejauh mana konsepsi-konsepsi pelajaran berdasarkan orientasi filsafatnya masing-masing dapat berbeda-beda, sebagaimana ditunjukkan oleh Demuth yang sering dijumpai di sekolah yaitu :
1. Konsepsi pertama; Matematika berorientasi formalistik. Pengertian modern seperti campuran, hubungan, fungsi, kelompok, vektor, diperkenalkan dan dimasukkan dengan definisi dan dihubungkan satu sama lain dalam sistem yang disusun secara deduktif;
2. Konsepsi kedua; Matematika berorientasi pada dunia sekelilingnya. Titik tolaknya adalah tema yang diambil dari jangkauan pengelaman pelajarnya. Pelajaran mempunyai tugas untuk mematematiskan keadaan sekeliling, artinya menyelidiki sekelilingnya mengenai kadar matematisnya;
3. Konsepsi ketiga; Heuristik, yaitu sistem yang pelajarnya dilatih untuk menemukan sesuatu secara mandiri. Menurut Polya, heuristik berupaya untuk memahami permulaan pemecahan masalahnya, terutama cara pemikiran yang dalam proses ini secara khas dapat digunakan. Konsep heuristik ingin mengarahkan pelajar dengan cara-cara penemuan, merangsang penelitian dan perekaan, dan dengan demikian meningkatkan minat terhadap matematika; dan
4. Konsepsi keempat; Matematika sebagai perkakas. Disini kesiapan menjadi menonjol ke depan, yang sering hanya digunakan sebagai kesiapan teknis. Matematika ini kemudian baru dipahami dan dinilai kemungkinan penerapannya misalnya dalam pelajaran fisika.
Sudah tentu konsepsi-konsepsi tersebut, dapat digabungkan (dikom-binasikan). Permasalahannya bukan pada pelaksanaan praktis “banyak sedikitnya” bentuk asli, melainkan mengenai posisi yang mendasarinya dan memerlukan pengujian didaktik bidang studi secara teliti.
Dengan demikian dapat dipertanyakan, berapa jauh formalisme pragmatis yang berkuasa dalam kegiatan ilmu matematika sekarang, seharusnya meresap ke dalam matematika di sekolah. Juga dapat dipertanyakan hubungan antara abstraksi matematika di satu pihak, dan di lain pihak pengalaman kita dari kenyataan alami dan kemasyarakatan.
C. Syarat-syarat Materi Keagamaan dalam Pembelajaran Matematika
Berkaitan dengan syarat-syarat materi yang akan dipadukan tersebut ada beberapa sifat penting yang memungkinkan matematika memegang peranan sangat penting dalam proses kegiatan keilmuan.
Sifat-sifat itu adalah sebagai berikut :
1. Matematika berhubungan dengan pernyataan yang berupa dalil dan konsekwensinya, dimana pengujian kebenaran secara matematis akan dapat diterima oleh tiap orang yang rasional;
2. Matematika tidak tergantung kepada perubahan ruang dan waktu;
3. Matematika bersifat eksak dalam semua yang dikerjakannya meskipun dia mempergunakan data yang tidak eksak (merupakan perkiraan);
4. Matematika adalah logika deduktif, yang mengubah pengalaman indera menjadi bentuk-bentuk yang diskriminatif kemudian bentuk ini diubah menjadi abstraksi, dan abstraksi kemudian berubah menjadi generalisasi. Generalisasi ini tidak tergantung kepada sifat-sifat fisik, sehingga objek-objek yang dimaksud tetap merupakan ujud pemikiran abstrak. Mengkaitkan generalisasi dan ujud-ujud abstrak ini dengan metode deduksi, berarti membangun sistem matematika (Howard F Fehr, 1987:211)
Dalam upaya mewujudkan keterpaduan materi keagamaan dengan pelajaran matematika ini ada 5 (lima) persyaratan utama menyangkut materi keagamaan yang mesti dipenuhi yaitu sebagai berikut:
1. Valid (shahih); yaitu menyangkut tingkat kebenaran materi (bukan merupakan materi yang khilafiah), dan materi tersebut memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan;
2. Signifikan (significance); yaitu menyangkut kesesuaian/ kesepadanan materi tersebut dengan pokok bahasan atau sub pokok bahasan pelajaran matematika;
3. Kebermaknaan (utility); yaitu tingkat kemanfaatan baik secara akademis ataupun non akademis. Akademis artinya materi tersebut dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya. Sedangkan Non Akademis artinya materi tersebut dapat mengembangkan kecakapan hidup (life skills) dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari;
4. Layak dipelajarai (learn ability); artinya materi yang dimaksud me-mungkinkan untuk dipelajari dan dalam kadar yang tepat (tidak terlalu mudag dan tidak terlalu sulit); dan
5. Menarik minat (interest); artinya materi tersebut harus dapat menarik perhatian siswa, dapat memotivasi siswa, dapat mengembangkan rasa ingin tahu dan juga mampu memberi dorongan untuk mengembangkan kemampuan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Allendoerfer dan Oakley. (1965). Fundamentals of Freshman Mathematics. New York: Mc Graw Hill Book Company.
Beerling. (1986). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Bush, Grace A dan Young, John E. (1973). Foundations of Mathematics, New York: Mc Graw Hill Book Company.
Effendi, Usman; Praja, Juhaya S.(1985).Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa.
Fehr, Howard F; Suria Sumantri, Jujun S. (1987). Komunikasi Pemikiran Keilmuan; Ilmu Dalam Perspekstif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Leknas-LIPI.
Holland, Roy. (1984). Kamus Matematika. Jakarta: Erlangga.
Hudson, Frank M dan W Donald. (1970). Introduction to Mathematics. Menlo Park California: Addison-Wesley Publishing Compaby.
Kemmeny, John G; Suria Sumantri, Jujun S. (1987). Matematika Tanpa Bilangan Matematika Untuk Ilmu Sosial; Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Leknas-LIPI.
Kline, Morris; Suria Sumantri, Jujun S. (1987). Matematika; Ilmu Dalam Perspekstif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Leknas-LIPI,
Ruseffendi, ET. (1979). Pengantar Pengajaran Matematika Modern. Bandung: Tarsito.